BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Rongga
hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan
(mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan
terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang
mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Alergi
hidung adalah keadaan atopi yang aling sering dijumpai, menyerang 20% dari
populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat
lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah,
terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika
akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau
rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat.
1.2 Rumusan Masalah
Konsep umum dan asuhan keperawatan pada rhinitis
alergi.
1.3
Tujuan
Tujuan umum: mampu melakukan asuhan
keperawatan pada pasien rhinitis alergi.
Tujuan
khusus:
a. Mampu mengetahui konsep asuhan
keperawatan rhinitis alergi.
b. Mampu mengaplikasikan tindakan lapangan
pada pasien rhinitis alergi.
BAB II
LAPORAN
PENDAHULUAN
2.1
Pengertian
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan
yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang
sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang
menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa
(Von Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang
mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001).Rhinitis
adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro,
2005 ).
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir
hidung ( Dorland, 2002 ).
Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang
digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi
bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 ).
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang
paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan.
Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap
partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan
mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:
1.
Rhinitis
akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan
sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit
ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi
pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim
semi.
2.
Rhinitis
kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh
infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.
2.2
Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan
yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari dua fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction
Berlangsung
sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
2. Late Phase Allergic Reaction
Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat
jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24
jam.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
a. Alergen
Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
b. Alergen
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Dengan
masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar
:
a.
Respon Primer, terjadi eliminasi dan
pemakanan antigen, reaksi non spesifik
b.
Respon Sekunder, reaksi
yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system humoral, system selular saja
atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika antigen berhasil dihilangkan
maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga
mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon tersier
c.
Respon Tersier , Reaksi
imunologik yang tidak menguntungkan
2.3
Klasifikasi
Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:
1.
Rinitis
alergi musiman (Hay Fever)
Biasanya terjadi pada musim
semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah, seperti
benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan
polusi udara atau asap.
2.
Rinitis
alergi yang terjadi terus menerus (perennial)
Disebabkan bukan karena
musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan
karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu
rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat
2.4
Patofisiologi
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan
antigen hewan di endapkan pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air
berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu yang kecenderungan atopik
secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan
mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil,
basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan
reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus,
edema, radang, gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut
serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik
suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).
Histamin
merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamine bekerja
langsung pada reseptor histamine selular, dan secara tidak langsung melalui
refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui saraf otonom,
histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer dan
edema local reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan
allergen.
Kurang
lebih 50% Rhinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe
I fase lambat, gejala Gejala rhinitis alergik fase lambat seperti hidung
tersumbat, kurangnya penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh
eosinofil.
2.5
Manifestasi Klinis
1.
Bersin
berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin
lebih dari 6 kali).
2.
Hidung tersumbat.
3.
Hidung
meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya
bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4.
Hidung
gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5.
Badan
menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala
klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang terutama
pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya
bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda
asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan
maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore)
yang encer dan banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang
disertai dengan keluarnya air mata.
2.6
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis
rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran
nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika.
Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang
penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE
spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi
nasal masih terbatas pada bidang penelitian.
2.6.1
Pemeriksaan penunjang :
1.
In
vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi
dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
2.
In
vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan
cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk
alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan
(Irawati, 2002)
2.7
Penatalaksanaan
1.
Terapi
yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
2.
Pengobatan,
penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat
Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase
lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
3.
Tindakan
Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
4.
Penggunaan Imunoterapi.
Pemilihan
obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :
1.
Obat-obat
yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2.
Tidak
menimbulkan takifilaksis.
3.
Beberapa
studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal.
Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang
lain.
4.
Kortikosteroid
intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek
samping sistemik.
Penatalaksanaan
rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan
imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan
rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari
strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi.
Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang
berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan
penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid
hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah
alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat,
efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan
utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang
biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering
dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan. Medikamentosa diberikan bila
perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada
anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi
medikamentosa akan diuraikan di bawah ini
1.
Antihistamin-H1
oral
Antihistamin-H1 oral
bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat
ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi
generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan
difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan
loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru
antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari,
serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan
mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti
hidung.
Efek samping
antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik.
Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan
sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.
2.
Antihistamin-H1
lokal
Antihistamin-H1 lokal
(misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1.
Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal
bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau
mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit
pada sebagian pasien.
3.
Kortikosteroid
intranasal
Kortikosteroid intranasal
(misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan
triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini
merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan
efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan
efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid
topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik
pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek
samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis
steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan
dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus
rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
4.
Kortikosteroid
oral/IM
Kortikosteroid oral/IM
(misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison,
triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan
hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek
samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik
tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu
dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
5.
Kromon
lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local
chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum
banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon
intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat
ini ringan dan tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium
kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang
kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak
dijumpai efek samping.
6.
Dekongestan
oral
Dekongestan oral seperti
efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang
dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan
penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,
kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau
tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek
sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat
meningkat, namun efek samping juga bertambah.
7.
Dekongestan
intranasal
Dekongestan intranasal
(misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung.
Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya
rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih
ringan.
Pemberian vasokonstriktor
topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun
karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
8.
Antikolinergik
intranasal
Antikolinergik intranasal
(misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea)
baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan
tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan
untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.
9.
Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti
montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan
merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi
dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
2.8
Pencegahan
Beberapa langkah/tips berikut ini dapat membantu anda bahkan jika anda tidak
tahu jenis pollen apa yang membuat anda alergi. Jika
anda tahu tipe pollen apa yang membuat anda alergi itu lebih bagus lagi.
1.
Tetaplah berada di dalam
ruangan/rumah pada waktu pollen sangat banyak di udara. Umumnya pollen sedikit
di udara hanya beberapa saat setelah matahari terbit. Mereka kemudian jumlahnya
makin banyak dan paling banyak pada tengah hari dan sepanjang siang. Jumlahnya kemudian
berkurang menjelang matahari terbenam.
2.
Tutuplah jendela dan pintu, baik pada siang maupun malam hari.
Gunakan AC untuk membantu mengurangi jumlah pollen yang masuk ke dalam rumah
anda. Jangan gunakan kipas dengan buangan keluar (exhaust fan)
karena dapat membawa lebih banyak pollen masuk ke dalam rumah anda.
3.
Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin.
4.
Cegah membawa pulang pollen masuk ke rumah setelah anda bepergian:
- Segeralah
mandi dan ganti baju dan celana yang anda pakai di luar.
- Keringkan
pakaian anda dengan mesin pengering, jangan jemur di luar.
5.
Berliburlah ke tempat lain
pada saat musim pollen sedang berlangsung di tempat anda ke tempat di mana
tanaman yang membuat anda alergi tidak tumbuh.
6.
Jangan keluar rumah pada
saat hujan atau hari berangin.
7.
Hindari aktivitas yang
membat anda terpapar dengan mold, seperti berkebun (terutama saat bekerja
dengan kompos), memotong rumput.
8.
Buanglah jauh-jauh dari
rumah anda daun-daun yang berguguran, potongan rumput, dan kompos.
Di daerah yang berudara lembab mold di dalam
rumah dapat mencetuskan serangan asthma, rhinitis alergika dan dermatitis
alergika. Beberapa langkah berikut dapat membantu:
9.
Bersihkan kamar mandi,
bathtubs, shower stalls, shower curtains, dan karet-karet jendela paling
sedikit sebulan sekali dengan disinfektan atau cairan pemutih. Gunakan pemutih
dengan hati-hati, karena dapat membuat hidung anda teriritasi. Jika hidung anda teriritasi,
gejala alergi anda dapat memburuk.
10. Rumah
harus ada aliran udara yang baik dan kering.
11. Gunakan
exhaust fan di kamar mandi dan dapur.
12. Jangan gunakan karpet.
Oleh karena orang dewasa menghabiskan 1/3
waktu mereka dan anak-anak menghabiskan ½ dari waktu mereka di kamar tidur,
maka penting agar tidak ada alergen di kamar tidur. Jangan gunakan kasur,
bantal dan guling yang diisi dengan kapuk.
Komplikasi
1.
Polip
hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip
hidung.
2.
Otitis
media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan
terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3.
Sinusitis
kronik
Otitis
media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan
adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 KASUS :
Nn. R umur 18 tahun dirawat di ruang THT Rumah
Sakit Umum Raden Mattaher Jambi hari kedua, ketika dilakukan pengkajian oleh
perawat didapat data hidung meler, bersin-bersin, mata merah berair yang tidak
berhenti-henti, lapisan hidung membengkak warna merah kebiruan, mudah
tersinggung, nafsu makan menurun, dan susah tidur, klien bernafas melalui
mulut.
Pemeriksaan fisik:
-k/u
lemah
-RR:35x/menit
-S:39
oC
-TD:130/110mmHg
-N:110x/menit
3.2 Pengkajian
Identitas
Pasien
Nama : Nn. R
Umur :
18 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Status pernikahan :Belum Menikah
Alamat : jln. Boe no.11 Depok. Sleman
Dx. Medis :
Rhinitis alergi
Penanggung jawab
Nama :
Ny. A
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Jln. Boe no.11 Depok. Sleman
- Keluhan Utama
Klien
mengatakan bersin-bersin terus menerus
- Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan bersin-bersin,hidung tersumbat,hidung mengeluarkan sekret
dan terasa gatal. Klien juga tampak
lemah selama 2 hari yang lalu dan kemudian dibawah oleh keluarganya kerumah
sakit Bakti Rahayu pada tangal 08 Agustus 2011 pukul 08.00 wib.
- Riwayat Keluarga
Klien
mengatakan ada anggota keluarga yang juga alergi terhadap debu dalam hal ini
adalah ibunya.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk
rhinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, dan
telinga juga penting.
- Hidung
Inspeksi
: permukaan hidung terdapat secret mukoid.
Palpasi
: nyeri, karena adanya inflamasi.
1.
Pada
rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya
sekret encer . Pada rinitis mukus encer dan tipis.
2.
Periksa
septum nasi terlihat adanya deviasi septum atau perforasi septum yang dapat
disebabkan oleh rinitis alergi kronis.
- Wajah
Inspeksi
:
1.
Adanya
allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan
vasodilatasi atau obstruksi hidung.
2.
Adanya
nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah
bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung ke atas dengan tangan.
- Mata
Inspeksi
:
- Adanya pembengkakan konjungtifa palpebral yang disertai
dengan produksi air mata.
- Telinga
Dengan
otoskopi terlihat adanya retraksi membran timpani. Kelainan mobilitas dari
membran timpani dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan
disfungsi tuba eustachius dan otitits media sekunder.
3.2.1
Analisa data
SIGN & SYMPTOM
|
ETIOLOGI
|
PROBLEM
|
DS :
Klien mengatakan
bersin-bersin terkena debu kemudian hidungnya mengeluarkan ingus
Ø DO:k/u lemah
RR:35x/menit
Klien bernafas menggunakan mulut
|
Akumulasi mucus
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif
|
DS : klien
mengatakan badannya terasa panas
DO:
-k/u lemah
-S:39oC
-Hidung tampak kemerahan
Ø
|
Proses
inflamasi
|
hipertermi
|
DS
:klien mengatakan susah
tidur karena hidungnya tersumbat
DO: -k/u lemah
-klien
gelisah,cemas
-TD:130/110mmHg
-N:
110x/menit
-bersin-
bersin(+)
- mucus
banyak dan encer
|
Hidung
tersumbat
|
Gangguan
pola tidur
|
3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi
sekret
2. Hipertermi
b.d proses inflamasi
3. Gangguan pola
istirahat b.d penyumbatan pada hidung
3.4
INTERVENSI
NO
|
DIAGNOSA
|
TUJUAN
|
KRITERIA
HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONALISASI
|
1.
2.
3.
|
Bersihan jalan nafas tidak efektiif b.d
akumulasi mucus
Hipertermi b.d proses inflamasi
Gangguan pola
istirahat b.d penyumbatan pada hidung
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam Bersihan
jalan nafas kembali efektif
Setelah di lakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam panas
klien menurun
Setelah
dilakukan tindakan
1X24jam klien
menunjukkanPerbaikan pola tidur atau istirahat
|
DS:klien mengatakan sudah bisa bernafas dengan
nyaman.
DO:
RR :16-24x/mnt
HR 60-100x/menit
DS:
klien mengatakan panasnya
sudah turun.
DO: k/u baik
S:normal 36-37.5oC
TD:120/80 mmHg
DS: klien mengatakan sudah bisa tidur nyenyak.
DO: bersin-bersin (-)
hidung meler (-)
N:70x/mnt
TD:120/80mmHg
|
1.Auskultasi bunyi
napas.
2.Catat adanya bunyi
napas, mis ; mengi, krekels, ronki
3. Kaji/pantau frekuensi
pernapasan
4.Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
persandaran tempat tidur.
-
5.Pertahankan polusi lingkungan minimum mis :
debu asap dan bulu bantal yang berhubunggan dengan kondisi individu
6. tingkatkan masukan
caian 3000 /hari sesuai jantung, memberikan air hangat.
-
1. Observasi TTV
2. Lakukan kompres hangat
3. Berikan pakaian tipis pada klien
4.
Kolaborasi dengan tim dokter pemberian antipiretik
5.
kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik
1.Tentukan kebiasan
tidur biasanya dan perubahan yang terjadi
- 2. Berikan tempat tidur
yang nyaman dan beberapa milik pribadi mis : bantal, guling.
3. Buat
rutinitas tidur baru yang dimasukkan dalam
pola lama dan ling kungan baru.
- 4. Tingkatkan regimen
kenyamanan waktu tidur .
- 5. instruksikan tindakan
relaksasi.
6.
Berikan sedative
sesuai indikasi
|
1.
Obstruksi jalan napas dan dapat atau tak di
manevestasikan adanya bunyi napas adventisius.
- 2. Adanya beberapa derajat
dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres atau adanya infeksi
akut.
3.
Penafasan dapat melambat dan frekunsi
ekspirasi memanjaga inspirasi memendek.
-
4.
Peningian kepala tempat
tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan mengunakn grafitasi
- 5.
Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang
dapat mentreger episode akut
6. Hidrasi membantu
menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.
1. Mengoservasi keadaan klien
2. Vasodilatasi agar suhu menurun
3. memacu
pengeluaran keringat
4. menurunkan
suhu tubuh
5. membunuh bakteri penyebab infeksi
1. Mengakaji perlunya dan
mengidentifikasi intervensi yang tepat
-
2.
Meningakatkkan
kenyamanan tridur serta dukungan fisiologis/psikologis
3.
Bila rutinitas baru menggandung aspek
sebanyak kebiasaan lama,stres dan ansietas yang berhubungan dapat berkurang
- 4. Meningkatkan efek
relaksasi.
5. Membantu menginduksi
tidur
6. Membantu pasien agar
mudah beristirahat
|
3.5 IMPLEMENTASI
No Dx
|
Tgl/Jam
|
Implementasi
|
TTD
|
1.
2.
3.
|
10-08-2011
09.00
10-08-2011
09.30
10-08-2011
10.00
10-08-2011
10.30
10-08-2011
11.00
10-08-2011
08.00
10-08-2011
08.30
10-08-2011
09.00
10-08-2011
10.30
10-08-2011
11.00
10-08-2011
08.00
10-08-2011
08.30
10-08-2011
09.00
10-08-2011
10.30
10-08-2011
11.00
10-08-2011
11.30
|
1.
Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi
napas, mis ; mengi, krekels, ronki
2. Kaji/pantau
frekuensi pernapasan
3. Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
persandaran tempat tidur.
-
4. Pertahankan polusi lingkungan minimum mis :
debu asap dan bulu bantal yang berhubunggan dengan kondisi individu
5.Tingkatkan masukan caian 3000 /hari sesuai jantung,
memberikan air hangat.
1.
observasi TTV
2. Lakukan kompres hangat
3. Berikan pakaian tipis pada klien
4.
Kolaborasi dengan tim dokter pemberian antipiretik
5. kolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik
1. Tentukan kebiasan
tidur biasanya dan perubahan yang terjadi
-
2 . Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa
milik pribadi mis : bantal, guling.
-
3. Buat rutinitas tidur
baru yang dimasukkan dalam pola lama dan ling kungan baru.
4. Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur .
- 5. instruksikan tindakan relaksasi.
6. Berikan sedative
sesuai indikas
|
3.6 DOKUMENTASI
Tgj/Jam
|
Diagnosa
|
Evaluasi
|
Nama
Perawat
|
11-08-2011
07.00
|
Dx1 : Bersihan jalan nafas tidak efektiif b.d
akumulasi mucus
|
S:Klien mengatakan ingusnya sudah berhenti.
O: hidung meler(-), bersin-bersin(-), klien bernafas melalui mulut(-)
RR:
16-24x/ mnt
A:masalah teratasi
P:hentikan intervensi
|
Tgj/Jam
|
Diagnosa
|
Evaluasi
|
Nama
Perawat
|
11-08-2011
07.00
|
Dx2:
. Hipertermi b.d proses inflamasi
|
S:Klien mengatakan badannya sudah tidak panas lagi.
O:k/u baik
S:normal 36-37.5oC
TD:120/80 mmHg
A:masalah teratasi
P:Hentikan intervensi
|
Tgl/Jam
|
Diagnosa
|
Evaluasi
|
Nama
Perawat
|
11-08-2011
07.00
|
Dx3: Gangguan pola
istirahat b.d penyumbatan pada hidung
|
S: klien mengatakan sudah bisa tidur nyenyak.
O: bersin-bersin (-)
hidung meler (-)
N:70x/mnt
TD:120/80mmHg
A: masalah teratasi
P:
hentikan intervensi
|
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Rhinitis
alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau
terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang
sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan allergen yang serupa (Von Pirquet, 1986).
Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
1.
Immediate
Phase Allergic Reaction
Berlangsung
sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
2.
Late
Phase Allergic Reaction
Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat
jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24
jam.
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan
antigen hewan di endapkan pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air
berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu yang kecenderungan atopik
secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan
mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil,
basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan
reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus,
edema, radang, gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut
serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik
suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).
4.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali
kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik
lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis
Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC
Price,
Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta
: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar