Selasa, 22 April 2014

Askep Rhinitis Alergi



BAB I
PENDAHULUAN


1.1        Latar Belakang
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Alergi hidung adalah keadaan atopi yang aling sering dijumpai, menyerang 20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat.
Dalam makalah ini penulis membahas konsep teori anemia defisiensi besi serta asuhan keperawatannya.
1.2    Rumusan Masalah
             Konsep umum dan asuhan keperawatan pada rhinitis alergi.
1.3    Tujuan
        Tujuan umum: mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien rhinitis alergi.
    Tujuan khusus:
       a. Mampu mengetahui konsep asuhan keperawatan rhinitis alergi.
             b. Mampu mengaplikasikan tindakan lapangan pada pasien rhinitis alergi.








BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1        Pengertian
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa  (Von Pirquet, 1986).
Rhinitis  alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001).Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ).
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung ( Dorland, 2002 ).
Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 ).
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:
1.      Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
2.      Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.

2.2        Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :

1.      Immediate Phase Allergic Reaction
Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
2.      Late Phase Allergic Reaction
Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
a.       Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
b.      Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
 Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar  :
a.      Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik
b.      Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon tersier
c.      Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak menguntungkan

2.3        Klasifikasi
          Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:
1.      Rinitis alergi musiman (Hay Fever)
Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau asap.
2.      Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)
Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat



2.4        Patofisiologi
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).
Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamine bekerja langsung pada reseptor histamine selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer dan edema local reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan allergen.
Kurang lebih 50% Rhinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I fase lambat, gejala Gejala rhinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil.

2.5        Manifestasi Klinis
1.      Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2.      Hidung tersumbat.
3.      Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4.      Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5.      Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak.  Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata.
2.6        Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian. 
2.6.1    Pemeriksaan penunjang :
1.      In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
2.      In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002)  
2.7        Penatalaksanaan
1.      Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
2.      Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
3.      Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
4.      Penggunaan Imunoterapi.

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :
1.      Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
2.       Tidak menimbulkan takifilaksis.
3.      Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4.      Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan. Medikamentosa diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini
1.      Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

2.      Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien. 
3.      Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
 Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
4.      Kortikosteroid oral/IM           
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi. 
5.      Kromon lokal (‘local chromones’)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.
6.      Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
7.      Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
8.      Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.
9.      Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

2.8        Pencegahan
      Beberapa langkah/tips berikut ini dapat membantu anda bahkan jika anda tidak tahu jenis pollen apa yang membuat anda alergi. Jika anda tahu tipe pollen apa yang membuat anda alergi itu lebih bagus lagi.
1.      Tetaplah berada di dalam ruangan/rumah pada waktu pollen sangat banyak di udara. Umumnya pollen sedikit di udara hanya beberapa saat setelah matahari terbit. Mereka kemudian jumlahnya makin banyak dan paling banyak pada tengah hari dan sepanjang siang. Jumlahnya kemudian berkurang menjelang matahari terbenam.
2.      Tutuplah jendela dan pintu, baik pada siang maupun malam hari. Gunakan AC untuk membantu mengurangi jumlah pollen yang masuk ke dalam rumah anda. Jangan gunakan kipas dengan buangan keluar (exhaust fan) karena dapat membawa lebih banyak pollen masuk ke dalam rumah anda.
3.      Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin.
4.      Cegah membawa pulang pollen masuk ke rumah setelah anda bepergian:
            -    Segeralah mandi dan ganti baju dan celana yang anda pakai di luar.
            -    Keringkan pakaian anda dengan mesin pengering, jangan jemur di luar.
5.      Berliburlah ke tempat lain pada saat musim pollen sedang berlangsung di tempat anda ke tempat di mana tanaman yang membuat anda alergi tidak tumbuh.
6.      Jangan keluar rumah pada saat hujan atau hari berangin.
7.      Hindari aktivitas yang membat anda terpapar dengan mold, seperti berkebun (terutama saat bekerja dengan kompos), memotong rumput.
8.      Buanglah jauh-jauh dari rumah anda daun-daun yang berguguran, potongan rumput, dan kompos.
Di daerah yang berudara lembab mold di dalam rumah dapat mencetuskan serangan asthma, rhinitis alergika dan dermatitis alergika. Beberapa langkah berikut dapat membantu:
9.      Bersihkan kamar mandi, bathtubs, shower stalls, shower curtains, dan karet-karet jendela paling sedikit sebulan sekali dengan disinfektan atau cairan pemutih. Gunakan pemutih dengan hati-hati, karena dapat membuat hidung anda teriritasi. Jika hidung anda teriritasi, gejala alergi anda dapat memburuk.
10.  Rumah harus ada aliran udara yang baik dan kering.
11.  Gunakan exhaust fan di kamar mandi dan dapur.
12.  Jangan gunakan karpet.
Oleh karena orang dewasa menghabiskan 1/3 waktu mereka dan anak-anak menghabiskan ½ dari waktu mereka di kamar tidur, maka penting agar tidak ada alergen di kamar tidur. Jangan gunakan kasur, bantal dan guling yang diisi dengan kapuk.
Komplikasi
1.      Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.
2.      Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3.      Sinusitis kronik
Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1    KASUS :
         Nn. R umur 18 tahun dirawat di ruang THT Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi hari kedua, ketika dilakukan pengkajian oleh perawat didapat data hidung meler, bersin-bersin, mata merah berair yang tidak berhenti-henti, lapisan hidung membengkak warna merah kebiruan, mudah tersinggung, nafsu makan menurun, dan susah tidur, klien bernafas melalui mulut.
      Pemeriksaan fisik:
                             -k/u lemah
                             -RR:35x/menit
                             -S:39 oC
                             -TD:130/110mmHg
                             -N:110x/menit

3.2     Pengkajian
Identitas Pasien
Nama                    : Nn. R
Umur                    : 18 tahun
Agama                  : Islam
Pendidikan           : SMA
Pekerjaan              : Pelajar
Status pernikahan :Belum  Menikah
Alamat                 : jln. Boe no.11 Depok. Sleman
Dx. Medis                        : Rhinitis alergi



Penanggung jawab
Nama                    : Ny. A
Agama                  : Islam
Pendidikan                        : SMA
Pekerjaan                     : Ibu rumah tangga
Status pernikahan        : Menikah
Alamat                         : Jln. Boe no.11 Depok. Sleman

  1. Keluhan Utama
Klien mengatakan bersin-bersin terus menerus

  1. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan bersin-bersin,hidung tersumbat,hidung mengeluarkan sekret dan terasa gatal.  Klien juga tampak lemah selama 2 hari yang lalu dan kemudian dibawah oleh keluarganya kerumah sakit Bakti Rahayu pada tangal 08 Agustus 2011 pukul 08.00 wib.
  1. Riwayat Keluarga
Klien mengatakan ada anggota keluarga yang juga alergi terhadap debu dalam hal ini adalah ibunya.

  1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk rhinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, dan telinga juga penting.
    1. Hidung
Inspeksi : permukaan hidung terdapat secret mukoid.
Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi.
1.      Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret encer . Pada rinitis mukus encer dan tipis.
2.      Periksa septum nasi terlihat adanya deviasi septum atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis.
    1. Wajah
Inspeksi :
1.      Adanya allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
2.      Adanya nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung ke atas dengan tangan.



    1. Mata
Inspeksi :
-       Adanya pembengkakan konjungtifa palpebral yang disertai dengan produksi air mata.
    1. Telinga
Dengan otoskopi terlihat adanya retraksi membran timpani. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitits media sekunder.

3.2.1     Analisa data

SIGN & SYMPTOM
ETIOLOGI
PROBLEM
DS :
Klien mengatakan bersin-bersin terkena debu kemudian hidungnya mengeluarkan ingus
Ø  DO:k/u lemah
     RR:35x/menit
     Klien bernafas menggunakan mulut


Akumulasi mucus
Bersihan jalan nafas tidak efektif
DS : klien mengatakan badannya terasa panas
DO: -k/u lemah
        -S:39oC
        -Hidung tampak kemerahan
Ø
Proses inflamasi
hipertermi
DS :klien mengatakan susah tidur karena hidungnya tersumbat
DO: -k/u lemah
        -klien gelisah,cemas
       -TD:130/110mmHg
       -N: 110x/menit
       -bersin- bersin(+)
       - mucus banyak dan encer
Hidung tersumbat
Gangguan pola tidur
     


3.3    DIAGNOSA KEPERAWATAN :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekret
2. Hipertermi b.d proses inflamasi
3. Gangguan pola istirahat b.d penyumbatan pada hidung















3.4     INTERVENSI

NO
DIAGNOSA
TUJUAN
KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONALISASI
1.












































 

2.

















 

3.
Bersihan jalan nafas tidak efektiif b.d akumulasi mucus










































Hipertermi b.d proses inflamasi

















Gangguan pola istirahat b.d penyumbatan pada hidung





Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam Bersihan jalan nafas kembali efektif





































Setelah di lakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam panas klien menurun












Setelah dilakukan tindakan
1X24jam  klien menunjukkanPerbaikan pola tidur atau istirahat



DS:klien mengatakan sudah bisa bernafas dengan nyaman.
DO:
RR :16-24x/mnt
HR 60-100x/menit



































DS: klien mengatakan panasnya sudah turun.
DO:  k/u baik
S:normal 36-37.5oC
TD:120/80 mmHg










DS: klien mengatakan sudah bisa tidur nyenyak.
DO: bersin-bersin (-)
  hidung meler (-)
N:70x/mnt
TD:120/80mmHg

1.Auskultasi bunyi napas.



2.Catat adanya bunyi napas, mis ; mengi, krekels, ronki





3.  Kaji/pantau frekuensi pernapasan


4.Kaji pasien untuk posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada persandaran tempat tidur.

-      5.Pertahankan polusi lingkungan minimum mis : debu asap dan bulu bantal yang berhubunggan dengan kondisi individu
6.  tingkatkan masukan caian 3000 /hari sesuai jantung, memberikan air hangat.
-      1. Observasi TTV

     2.  Lakukan kompres hangat
     3. Berikan pakaian tipis pada klien
4. Kolaborasi dengan tim dokter pemberian antipiretik
5. kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik

1.Tentukan kebiasan tidur biasanya dan perubahan yang terjadi

-     2. Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi mis : bantal, guling.

3. Buat
rutinitas tidur baru yang dimasukkan dalam pola lama dan ling kungan baru.
-    4.  Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur .

-    5.  instruksikan tindakan relaksasi.

6.      Berikan sedative sesuai indikasi
     1. Obstruksi jalan napas dan dapat atau tak di manevestasikan adanya bunyi napas adventisius.
-     2.  Adanya beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres atau adanya infeksi akut.



    3. Penafasan dapat melambat dan frekunsi ekspirasi memanjaga inspirasi memendek.
-     
    4.  Peningian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan mengunakn grafitasi






-    5.  Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentreger episode akut


     






6. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.


1. Mengoservasi keadaan klien



 2. Vasodilatasi agar suhu menurun

3. memacu pengeluaran keringat

4. menurunkan suhu tubuh



5. membunuh bakteri penyebab infeksi


1.  Mengakaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat

-     


     2.   Meningakatkkan kenyamanan tridur serta dukungan fisiologis/psikologis



3. Bila rutinitas baru menggandung aspek sebanyak kebiasaan lama,stres dan ansietas yang berhubungan dapat berkurang

-     4. Meningkatkan efek relaksasi.



5.  Membantu menginduksi tidur


6. Membantu pasien agar mudah beristirahat





















3.5    IMPLEMENTASI
No Dx
Tgl/Jam
Implementasi
TTD
1.










































 



2.






















 


3.




















10-08-2011
09.00






10-08-2011
09.30


10-08-2011
10.00











10-08-2011
10.30









10-08-2011
11.00








10-08-2011
08.00


10-08-2011
08.30



10-08-2011
09.00



10-08-2011
10.30



10-08-2011
11.00




10-08-2011
08.00





10-08-2011
08.30








10-08-2011
09.00






10-08-2011
10.30




10-08-2011
11.00


10-08-2011
11.30

1.  Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, mis ; mengi, krekels, ronki

2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan

3.  Kaji pasien untuk posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada persandaran tempat tidur.
-    
       4. Pertahankan polusi lingkungan minimum mis : debu asap dan bulu bantal yang berhubunggan dengan kondisi individu
                                                
    5.Tingkatkan masukan caian 3000 /hari sesuai jantung, memberikan air hangat.



1. observasi TTV

     2. Lakukan kompres hangat

     3. Berikan pakaian tipis pada klien

4. Kolaborasi dengan tim dokter pemberian antipiretik

 5. kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik

1. Tentukan kebiasan tidur biasanya dan perubahan yang terjadi
-   
        2  .  Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi mis : bantal, guling.
-   
3.  Buat rutinitas tidur baru yang dimasukkan dalam pola lama dan ling kungan baru.

4.  Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur .

-     5. instruksikan tindakan relaksasi.

6.  Berikan sedative sesuai indikas

















3.6    DOKUMENTASI

Tgj/Jam
Diagnosa
Evaluasi
Nama Perawat
11-08-2011
07.00
Dx1 : Bersihan jalan nafas tidak efektiif b.d akumulasi mucus



S:Klien mengatakan ingusnya sudah berhenti.
O: hidung meler(-), bersin-bersin(-), klien bernafas melalui mulut(-)
RR: 16-24x/ mnt
A:masalah teratasi
P:hentikan intervensi



Tgj/Jam
Diagnosa
Evaluasi
Nama Perawat
11-08-2011
07.00
Dx2: . Hipertermi b.d proses inflamasi
S:Klien mengatakan badannya sudah tidak panas lagi.
O:k/u baik
S:normal 36-37.5oC
TD:120/80 mmHg
A:masalah teratasi
P:Hentikan intervensi


Tgl/Jam
Diagnosa
Evaluasi
Nama Perawat
11-08-2011
07.00
Dx3: Gangguan pola istirahat b.d penyumbatan pada hidung

S: klien mengatakan sudah bisa tidur nyenyak.
O: bersin-bersin (-)
  hidung meler (-)
N:70x/mnt
TD:120/80mmHg
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi




BAB IV
PENUTUP

4.1    Kesimpulan
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa  (Von Pirquet, 1986).
         Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
1.      Immediate Phase Allergic Reaction
Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
2.      Late Phase Allergic Reaction
Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).

4.2    Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar